Arsiran Mimpi Tanpa Dirinya

Sumber: pixabay.com/Jatocreate

Aku termenung mengingat kata-katanya. “Bima, kakak yakin kamu pasti bisa meraih apa saja dalam hidupmu. Kamu kini berumur 14 tahun, sudah saatnya bagimu menemukan makna memiliki jutaan mimpi.” Saat itu aku tersenyum heran, tapi tertarik dengan maksud kata-kata itu. “Kak Arya, aku harap kakak selalu di sisiku. Aku takut. Aku takut sendiri,” kataku sambil memeluknya dengan hangat. Kak Arya tertawa dan melepas pelukannya, “Ayolah … kamu sudah besar, jangan mau jadi manja terus, Bima.” Aku terharu tapi juga menikmati masa indah itu.

Tapi, hari itu datang.


Aku masih ingat hari itu dengan sangat jelas. Langit yang kelabu, suara sirene ambulans yang memekakkan telinga, dan bau darah yang menyengat. Kak Arya, kakakku yang selalu ceria dan penuh semangat, terbaring tak berdaya di jalan. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat, seakan dunia ini berhenti sejenak untuk merasakan kepedihan yang mendalam. Mataku terbelalak, tubuhku gemetar. “Kak! Kak Arya!” teriakku. Namun, suaraku tenggelam di antara kerumunan yang panik.


Orang-orang berkerumun, suara langkah kaki, dan teriakan memenuhi udara. Aku tidak bisa bergerak, kakiku seakan terpaku ke tanah. Para petugas medis dengan cepat memasukkan Kak Arya ke dalam ambulans. Aku ingin ikut, tapi seseorang menarikku ke belakang. “Tunggu di sini, Nak. Mereka akan membawanya ke rumah sakit,” kata seorang pria dengan suara lembut namun tegas.


Di rumah sakit, waktu terasa berjalan sangat lambat. Ibuku menangis tanpa henti, sementara Ayahku hanya diam dengan mata yang kosong. Setelah berjam-jam menunggu, dokter akhirnya keluar dengan wajah muram. “Kami sudah mencoba segala cara, tetapi sudah waktunya dia dijemput oleh takdir,” katanya dengan nada berat. Kata-kata itu terdengar seperti palu godam yang menghantam hati kami. Dunia seakan runtuh, dan tak ada yang bisa menyelamatkan kami dari kesedihan ini.


Sejak hari itu, rumah kami tidak lagi sama. Ibuku yang dulu selalu ceria dan penuh perhatian, kini lebih sering termenung dengan mata yang sembab. Ayahku yang dulu selalu punya waktu untukku, kini lebih banyak menghabiskan waktu di pekerjaannya, bahkan memilih kerja lembur. Aku merindukan saat-saat di mana kami duduk bersama di meja makan, berbagi cerita dan tawa. Kini, meja itu terasa dingin dan sepi.


Aku paham mereka sangat terpukul dengan kepergian Kak Arya. Aku juga merasakan kehilangan yang sama, tapi aku tidak bisa menunjukkan itu. Aku harus tetap kuat, meskipun di dalam hati aku hancur berkeping-keping. “Andai Kak Arya masih di sini,” pikirku berulang kali. Kehadirannya pasti akan mengubah segalanya. Ia adalah pahlawanku, sosok yang selalu melindungiku dan membuat hidupku penuh warna.


Hari-hariku berlalu dalam kehampaan. Di sekolah, aku sering melamun, memikirkan Kak Arya. Siswa yang periang di kelas, kini hanya terdiam membawa suasana keruh di kelas. Guru dan teman-temanku mencoba menghibur, tapi tidak ada yang benar-benar bisa memahami rasa sakit yang aku rasakan. Mereka seakan tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidup. Lagi pula, ini tidak sesederhana itu, trauma berat menimpa keluarga kami.


Meskipun merasa terpuruk, aku tahu bahwa aku harus bangkit. Aku tidak ingin mengecewakan Kak Arya. Dia selalu mengajarkanku untuk tidak menyerah, untuk selalu berusaha yang terbaik. Aku memutuskan untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi yang terbaik, meskipun tanpa Kak Arya di sampingku.


Di sekolah, aku mulai belajar lebih giat. Setiap malam, aku menghabiskan waktu berjam-jam di depan buku pelajaran, mencoba memahami materi yang sulit. Sesekali aku tidak fokus, terdiam dan teringat masa di mana Kak Arya menghibur dan membimbingku belajar di rumah meski aku sangat malas belajar. Aku tidak secerdas Kak Arya, tapi aku bertekad untuk menunjukkan bahwa aku juga bisa berprestasi. Aku ikut dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, mencoba menonjol di berbagai bidang. Setiap pencapaian kecil memberiku semangat untuk terus maju.


Di rumah, aku berusaha untuk lebih peduli terhadap kedua orang tuaku. Meskipun mereka tampak tidak lagi peduli padaku, aku mengerti bahwa mereka juga merasakan kesedihan yang mendalam. Aku mencoba membantu Ibu dengan pekerjaan rumah, dan menemani Ayah saat dia sedang duduk sendirian di ruang tamu. Melihat Ayah, terkadang aku merasa, “Kapan aku bisa meringankan beban Ayah sebagai tulang punggung keluarga? Ayah, aku akan menjadi anak yang bisa Ayah banggakan,” bisikku dalam hati setiap kali melihat wajah letihnya.


Suatu sore, aku merasa sangat lelah dan tertekan. Aku memutuskan untuk pergi ke makam Kak Arya. Di sana, aku duduk di samping nisan yang dingin, memandangi namanya yang terukir indah, Arya Putra Bagaskara, yang terukir di batu. Kenangan indah bersamanya satu per satu terlintas di pikiranku. Tawa ceria, pelukan hangat, dan kata-kata bijaknya. “Kak Arya, andai saja kamu masih di sini,” bisikku, air mata mulai mengalir di pipiku.


Aku termenung, membayangkan bagaimana kehidupan kami jika Kak Arya masih hidup. Keluarga kami pasti akan tetap bahagia dan harmonis. Aku tidak akan merasa sepi dan terabaikan. Tapi di saat yang sama, aku menyadari bahwa kehilangan ini memberiku pelajaran berharga. Aku belajar untuk menjadi lebih kuat, lebih mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain.


Saat matahari mulai tenggelam, aku berdiri dan membersihkan tanah dari lututku. Aku menatap nisan Kak Arya untuk terakhir kalinya hari itu. “Terima kasih, Kak, untuk semua yang telah kamu ajarkan padaku. Aku akan terus berjuang dan membuktikan bahwa aku bisa menjadi yang terbaik,” kataku dengan penuh tekad.


Aku pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Meskipun kehilangan Kak Arya adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidupku, aku tahu bahwa aku harus terus maju. Kehilangan ini mengajarkanku untuk tidak menyerah, untuk tetap berusaha meskipun keadaan sulit. Aku belajar untuk menjadi pribadi yang lebih tegar dan mandiri.


Di rumah, aku melihat kedua orang tuaku duduk di ruang tamu. Aku mendekati mereka dan berkata, “Ayah, Ibu, aku tahu kita semua merindukan Kak Arya. Tapi aku ingin kalian tahu bahwa aku juga akan berusaha menjadi anak yang bisa kalian banggakan. Aku akan terus berjuang dan tidak akan menyerah.”


Orang tuaku menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka meraihku dalam pelukan hangat. “Ibu sangat merindukan Arya, tapi sekarang Ibu sadar, Nak. Bahwa kami juga masih punya kamu, Bima. Maafkan kami yang telah mengabaikanmu selama ini,” bisik Ibu dengan suara serak. Aku bisa merasakan air matanya mengalir di pundakku, hangat dan penuh kepedihan yang terpendam.


“Ayah bangga padamu, Bima. Ayah tahu ini tidak mudah, tapi kamu telah menunjukkan keteguhan yang luar biasa. Maafkan Ayah yang larut dalam kesedihan dan pekerjaan, hingga melupakanmu,” sambung Ayah dengan nada penuh penyesalan. Tangannya yang kuat mengelus rambutku dengan lembut, seakan mencoba menyampaikan kasih sayang yang tertunda.


Air mataku seketika menetes, hangatnya pelukan ini membuat hatiku bergetar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasakan kehangatan keluarga kembali. Pelukan hangat ini mengingatkanku pada pelukan terakhir Kak Arya, membuat wajahnya terbayang jelas di pikiranku. Seakan merasakan kehadirannya lagi, meskipun hanya dalam kenangan. “Bima, kamu adalah anak yang hebat. Jangan pernah meragukan dirimu sendiri. Kami akan selalu ada untukmu,” kata-kata Ibu terasa seperti selimut hangat di tengah dinginnya malam, menenangkan dan penuh cinta.


Meskipun kami masih berduka, aku tahu bahwa kami akan melalui ini bersama-sama. Kehilangan Kak Arya memang menyakitkan, tetapi kami masih memiliki satu sama lain. Dalam kehangatan pelukan keluarga ini, aku merasakan bahwa kami bisa bangkit kembali dan menghadapi masa depan dengan lebih kuat.


Aku belajar bahwa hidup terus berjalan, dan kita harus terus berjuang, meskipun menghadapi rintangan yang berat. Aku akan terus berusaha menjadi yang terbaik, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk Kak Arya, yang selalu ada dalam hati dan ingatan.

Untuk dirinya, 

23 Mei 2024
Andi Muhammad Ghani Rahman


Posting Komentar

0 Komentar