Kedisiplinan: Refleksi dari Kehidupan Berorganisasi atau Sekadar Formalitas?

Kedisiplinan adalah salah satu pilar utama dalam pengembangan karakter individu, terutama dalam lingkungan pendidikan dan organisasi

Kedisiplinan sering dipandang sebagai cerminan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku, baik di sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Organisasi, sebagai wadah pembelajaran yang terstruktur, idealnya menjadi tempat di mana anggota-anggotanya dapat mengasah sikap disiplin. 

Namun, yang sering terjadi di berbagai sekolah, adalah ketidakseimbangan antara kedisiplinan dalam organisasi dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Anggota organisasi terlihat sangat disiplin saat berada dalam kegiatan formal organisasi, tetapi sebaliknya, ketika mereka berada di luar lingkungan organisasi, kedisiplinan itu seolah menguap. Apakah ini karena ketakutan terhadap senior atau hanya sekadar ingin terlihat baik di depan publik? Jika demikian, esensi sebenarnya dari kedisiplinan tidak tercapai.

Kedisiplinan seharusnya bukan hanya tentang menaati aturan saat berada dalam kegiatan organisasi

 Lebih dari itu, disiplin harus menjadi bagian dari karakter sehari-hari setiap individu, tanpa perlu diawasi atau dipaksa. Fakta bahwa banyak siswa yang aktif di organisasi justru masih sering terlambat ke sekolah, melanggar aturan berpakaian, atau tidak mengikuti upacara dengan khidmat, menunjukkan bahwa kedisiplinan yang ditanamkan dalam organisasi belum benar-benar meresap. 

Apakah disiplin hanya berfungsi saat ada tugas organisasi? Mengapa siswa-siswi yang aktif dalam organisasi, yang seharusnya menjadi teladan, justru menunjukkan perilaku yang tidak konsisten?

Ini adalah masalah yang harus dipecahkan bersama, terutama bagi para pembina dan anggota organisasi itu sendiri.

Mengapa anggota organisasi tampak disiplin saat acara resmi, tetapi lalai di luar kegiatan formal?

Organisasi/ekstrakurikuler yang umumnya mengedepankan kedisiplinan, misalnya Paskibra, Pramuka, dan PKS selalu menekankan pentingnya kedisiplinan kepada anggotanya. Setiap latihan, setiap pertemuan, dan setiap kegiatan diwarnai dengan aturan-aturan yang ketat, mulai dari waktu kedatangan hingga tata cara berpakaian. 

Disiplin menjadi inti dari kegiatan mereka. Namun, ironisnya, begitu keluar dari konteks organisasi, banyak dari mereka yang justru melupakan aturan yang sama. Sebagai contoh, masih banyak anggota Paskibra yang terlambat ke sekolah, tidak mengikuti upacara dengan khidmat, dan bahkan melanggar aturan berpakaian yang telah ditetapkan sekolah. Ini bukan hanya fenomena lokal, tetapi terjadi di banyak sekolah. Organisasi hanya menjadi tempat mereka "bermain peran" sebagai orang yang disiplin, tetapi tidak berhasil membentuk kebiasaan disiplin dalam kehidupan nyata.

Esensi dari berorganisasi adalah untuk menerapkan nilai-nilai yang dipelajari ke dalam kehidupan sehari-hari. Organisasi seharusnya tidak hanya menjadi tempat untuk mendapatkan poin tambahan atau penghargaan, tetapi juga sebagai sarana pengembangan diri. 

Jika kedisiplinan hanya ada dalam organisasi dan tidak terbawa dalam kehidupan sehari-hari, maka ada yang salah dalam proses pembelajaran tersebut. Organisasi tidak boleh hanya menjadi tempat untuk mematuhi aturan demi tugas atau senioritas, tetapi harus menjadi tempat di mana anggotanya belajar bertanggung jawab dan menjaga disiplin tanpa paksaan.

Tanpa kesadaran diri, kedisiplinan hanya menjadi formalitas yang tidak berdampak nyata

Menurut Hurlock (2016), "Disiplin diperlukan oleh siapa saja, dan di mana saja." Pernyataan ini menegaskan bahwa kedisiplinan tidak boleh terbatas pada lingkungan tertentu, tetapi harus menjadi bagian dari karakter setiap individu. 

Jika siswa-siswi hanya disiplin saat ada kegiatan organisasi, maka kedisiplinan tersebut bersifat artifisial. Mereka hanya disiplin karena takut mendapatkan hukuman atau teguran dari senior atau pembina. Di sinilah peran penting pendidikan karakter. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembelajaran akademik, tetapi juga pembentukan karakter, termasuk disiplin. Sayangnya, pendidikan karakter di sekolah sering kali terjebak dalam formalitas, tidak benar-benar menyentuh akar masalah.

Lingkungan organisasi sering kali menjadi tempat yang penuh dengan tekanan, dan mengabaikan manfaat dan tujuan penting yang seharusnya

Perilaku tekanan lebih dominan muncul karena ikut-ikutan, atau sekadar ajang pelampiasan dendam.

Anggota organisasi harus patuh pada aturan yang berlaku, bukan karena kesadaran, tetapi lebih karena takut terhadap konsekuensi. Ini menciptakan kedisiplinan yang bersifat semu. Mereka disiplin hanya karena takut terhadap senior atau pembina. Begitu keluar dari lingkungan tersebut, kedisiplinan itu hilang. Ini adalah bukti bahwa kedisiplinan yang dibentuk dalam organisasi tidak benar-benar tertanam dalam diri individu. 

Disiplin sejati harus datang dari kesadaran diri, bukan dari tekanan eksternal. Seorang siswa yang benar-benar disiplin tidak perlu diawasi setiap saat. Disiplin adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Namun, ketika kedisiplinan hanya ada dalam konteks formal organisasi, maka itu bukan disiplin yang sejati. 

Menurut Liputan6.com, "wadah bagi sekelompok orang untuk berkumpul serta belajar bekerja sama dengan terstruktur untuk mencapai tujuan bersama." Jika tujuan bersama tersebut tidak mencakup pembentukan disiplin yang konsisten dalam kehidupan sehari-hari, maka organisasi tersebut gagal dalam menjalankan fungsinya.

post-image-672d386282078.jpeg
Sumber: dok.pribadi/agran0867

Sering terdengar, "Organisasi sebagai wadah pengembangan diri", namun realitasnya tidak menunjukkan bahwa keinginan mereka seperti itu.

Fungsi organisasi menurut Liputan6.com, adalah untuk "meningkatkan skill atau keterampilan serta kemampuan dari anggota organisasi." Salah satu keterampilan yang paling penting adalah kedisiplinan. Jika keterampilan ini tidak berkembang di luar lingkungan organisasi, maka organisasi tersebut tidak memberikan dampak yang diharapkan. 

Fakta bahwa banyak siswa yang aktif di organisasi tetapi masih melanggar aturan sekolah menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara apa yang mereka pelajari di organisasi dan bagaimana mereka menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Kedisiplinan adalah nilai yang harus diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya dalam kegiatan organisasi. Jika siswa-siswi hanya disiplin saat berada dalam kegiatan formal organisasi, maka mereka telah gagal memahami esensi dari kedisiplinan itu sendiri. Organisasi seharusnya menjadi tempat di mana anggota-anggotanya belajar untuk menerapkan nilai-nilai disiplin dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya saat ada pengawasan.

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa disiplin tidak hanya diajarkan, tetapi juga diterapkan. Organisasi adalah salah satu cara untuk mengajarkan kedisiplinan, tetapi jika nilai-nilai tersebut tidak terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari, maka pembelajaran tersebut belum berhasil. Setiap siswa harus menyadari bahwa disiplin adalah bagian dari karakter yang harus dibangun sejak dini, dan bukan sesuatu yang hanya dilakukan saat ada yang mengawasi.

Kedisiplinan yang hanya ada dalam organisasi adalah disiplin yang semu. Siswa-siswi yang disiplin sejati tidak hanya patuh pada aturan saat ada kegiatan formal, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Organisasi harus menjadi tempat yang membentuk karakter disiplin yang kokoh, bukan hanya tempat untuk "bermain peran." Jika tidak, maka kita harus bertanya: apakah organisasi memberikan manfaat yang sejati, atau justru kita yang memanfaatkan organisasi tanpa benar-benar mengambil pelajaran darinya?

Jika disiplin hanya muncul dalam acara formal, apakah itu berarti organisasi gagal membentuk karakter anggotanya?

Jawaban ku, YA! Itulah masalahnya.


Mari Bersuara, 8 November 2024
Andi Muhammad Ghani Rahman

Posting Komentar

0 Komentar