Menuntut Ilmu: Hakikat, Kecerdasan, dan Tanggung Jawab Muslim

Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, sebagaimana sabda Rasulullah ï·º:

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim." (HR. Ibnu Majah).

Ilmu bukan hanya alat untuk memahami dunia, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Sumber: pixabay.com/Geralt

Dengan ilmu, seorang Muslim dapat menyempurnakan ibadahnya, memahami hukum-hukum agama, serta membangun kehidupan yang lebih baik. Namun, ilmu yang bermanfaat harus dibarengi dengan pemahaman yang benar dan niat yang lurus.

Hakikat Menuntut Ilmu

Dalam Islam, ilmu memiliki dua pendekatan utama:

  1. Paham – Ilmu bukan sekadar menghafal atau mengetahui sesuatu, tetapi memahami maknanya dengan baik.
  2. Dijangkau dan Dikuasai – Ilmu harus dipelajari dengan sungguh-sungguh hingga seseorang benar-benar menguasainya dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Sebagai seorang pelajar, kita tidak boleh hanya sekadar hadir di kelas tanpa benar-benar memahami materi yang diajarkan. Ilmu harus dicari dengan tekun, dipahami, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana firman Allah:

"Mereka mengetahui sebatas lahiriyah kehidupan dunia, tetapi mereka lalai dari akhirat." (QS. Ar-Rum: 7).

Ilmu yang hanya digunakan untuk kepentingan dunia tanpa pemahaman akhirat akan membuat seseorang cerdas secara intelektual tetapi lalai terhadap tujuan hidup yang sesungguhnya.

Cerdas dalam Mencari Akhirat

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kebanyakan manusia sangat cerdas dalam urusan dunia—mereka mampu memutar otak untuk mendapatkan keuntungan dan kesuksesan. Namun, mereka lalai dalam urusan akhirat. Kecerdasan sejati adalah ketika seseorang mampu menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, sebagaimana dalam doa yang diajarkan oleh Rasulullah ï·º:

"Ya Allah, aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amalan yang diterima." (HR. Ibnu Majah).

Seorang Muslim harus cerdas dalam mengatur waktunya, memprioritaskan ilmu yang bermanfaat, serta menjaga agama dalam setiap aspek kehidupannya. Ia harus memahami bahwa kecerdasan bukan hanya tentang nilai akademik, tetapi juga tentang bagaimana ia menggunakan ilmunya untuk kebaikan diri dan orang lain.

Konsep Kecerdasan Muslim

Penelitian dari Universitas California menyatakan bahwa semua orang memiliki kecerdasan:

  • 90% Cerdas
  • 5% Jenius
  • 5% Tertinggal

Tidak ada manusia yang bodoh, tetapi ada yang belum mengoptimalkan potensinya. Terkadang, seseorang dianggap tertinggal bukan karena ia tidak mampu, melainkan karena kurangnya dorongan, lingkungan yang tidak mendukung, atau metode belajar yang tidak sesuai. Oleh sebab itu, dalam Islam, menuntut ilmu harus dilakukan dengan cara yang benar, yakni:

  1. Duduk di tempat yang strategis agar dapat fokus.
  2. Bertanya jika ada hal yang tidak dipahami.
  3. Mengulang dan mengevaluasi pemahaman setelah belajar.
  4. Mengaitkan ilmu dengan kehidupan sehari-hari agar lebih bermanfaat.

Seorang Muslim tidak hanya dituntut untuk pintar dalam akademik, tetapi juga harus memiliki kefakihan dalam agama. Sebagaimana Imam Asy-Syafi'i berkata:

"Barang siapa yang ingin dunia, maka hendaklah dengan ilmu. Barang siapa yang ingin akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Dan barang siapa yang ingin keduanya, maka hendaklah dengan ilmu."

Menuntut ilmu adalah anugerah yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ilmu yang dipelajari harus digunakan untuk kebaikan, bukan sekadar untuk mengejar gelar atau materi. Setiap Muslim memiliki potensi untuk menjadi cerdas, tetapi kunci utamanya adalah usaha dan niat yang ikhlas.

Pintar adalah anugerah, sedangkan malas adalah pilihan. Jangan biarkan potensi yang Allah berikan sia-sia. Jadilah Muslim yang cerdas, tidak hanya dalam urusan dunia, tetapi juga dalam mencari akhirat.

"Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepada kami, dan berikanlah pemahaman yang baik dalam agama."


Salam,

12 Agustus 2024
Andi Muhammad Ghani Rahman


Referensi: Tausiah Ust. Dr. (H.C.) Adi Hidayat, Lc. MA.

Posting Komentar

0 Komentar